Pity The Fool

“Eh, anjing!”

Annie mengambil lagi kunci gemboknya dan berjalan ke parkiran. Tidak perlu mengunci sebenarnya, karena ia ada di lapangan parkir dan satu-satunya sepeda di tempat itu membaur bersama motor-motor lainnya, tapi siapa tahu, kan?

“Dasar anjing semua!”

Sebagai scorpio galur murni, menyumpahi sampah masyarakat seperti (mantan) pacarnya dan (mantan) sahabatnya setara dengan wajah jijik yang ditampilkan ibu-ibu serta sepasang tangan yang beralih fungsi sebagai penutup telinga anak.

Annie mengunci helmetnya dan mengayuh sepedanya menuju jalan utama. Jangan menangis atau kamu kalah, batinnya.


Piglets and Toothpicks tidak seramai biasanya, tapi memang biasanya tidak seramai ini. Berdasarkan kecepatan mereka mengantarkan milkshake ke meja Annie, ini berarti kursi di lantai dua bisa dibilang sepi.

“Jadi kamu,” Wanda menjajal kentang goreng kimchi yang ada di depannya, “kamu bilang kamu ngapain kemaren?”

“Aku nonton pacarku -mantan sih, selingkuh.” Annie juga ikut mencomot satu potong kentang yang tidak tersentuh saus apapun. “Tapi kok, harus sama Lani banget, ya?”

“Uhuk! Uhuk, uhuk,” Wanda berusaha mengambil cairan apapun yang ada di depan matanya sambil memukul-mukul dadanya. Seandainya ia harus mati sekarang, ia tidak ingin mati konyol tersedak kentang goreng kimchi. Annie dengan sigap berlari kecil ke samping Wanda dan menawarkan sebotol air dan mencari tisu kering terdekat.

“Santai aja kali makannya, aku yang bayarin, kok,” Annie menarik tisu kering dari Wanda dan menaruhnya di atas tangan perempuan itu. “Tapi besok giliran kamu, lho.”

Wanda sebenarnya bingung akan dua hal: pertama, perempuan ini dengan tanpa ekspresi mengabarkan kisah cintanya yang baru saja tandas, dan kedua, masih bisa mengingat gilirannya. Wanda berusaha mengambil nafas sebelum ia membuka mulutnya lagi sambil memikirkan kalimat yang pas untuk melanjutkan bincang mereka.

“Lani,” Wanda masih berusaha menelan dengan benar, “Lani yang ada tahi lalat di pipinya, kan? Lani kita?”

Annie mengangguk. Sedotannya ditarik ke atas untuk menyekop es krim yang ada di atas minumannya. Embun dingin yang ada di dinding gelas diusapnya ke atas, kemudian ke ujung-ujung bibirnya yang lengket setelah menjilat es krim di permukaan sedotannya. Wanda menawarkan selembar tisu kering pada Annie.

“Kok bisa?”

“Ya, bisa aja. Soalnya aku chat Lani buat majuin hari ketemuan kita, kan, tapi dia bilang dia ada acara di mall. Masalahnya Jojo juga bilang dia ada acara di situ. Emang acara segede apa, sih, yang bisa nyatuin dua orang beda dunia kaya mereka?” Annie menusuk-nusuk es krimnya hingga larut ke dalam minumannya.

“Tapi kamu engga pernah cerita kalo curiga sama mereka berdua,” ujar Wanda.

“Iya, soalnya sekarang Jojo kan, emang lagi enjoy posisi dia yang baru, kan. Terus Lani juga sering hang out bareng kita juga. Tapi tuh,” Annie mengambil ponselnya. Bagi Wanda, benda itu lebih mirip kaca ajaib yang terkena kutuk Ratu Jahat dibandingkan dawai elektronik abad ke-21. Wanda terus mengingatkan dirinya untuk menghadiahkan Annie ponsel baru sepuluh bulan lagi. “Kamu liat, kan, foto yang ini tuh jaketnya persis punya Jojo. Nah, ini tuh, topinya Jojo, Nda. Aku yakin soalnya waktu aku cek,” Annie mengambil foto bagian dalam topi tersebut, “ini custom untuk Jojo. Nih inisialnya.”

Beberapa menit selanjutnya, Annie sibuk menyapukan jarinya ke permukaan retak tersebut. Seakan gores-gores tersebut hilang, kedua perempuan itu hilang ditelan ratusan foto dalam album metafisika Annie yang semakin memperkuat praduga bersalahnya. Berangkai-rangkai chat, foto, video, bahkan timeline yang dituliskan di secarik kuitansi memanaskan obrolan keduanya.

Dijepit di antara sekolah dasar dan sekolah menengah, Piglets and Toothpicks menawarkan banyak kursi dan meja untuk dipakai menuntaskan kewajiban akademik tiap semester. Musim libur antar semester biasanya meninggalkan selapis tipis debu yang akan diseka oleh kerja kelompok pertama di semester depan. Rumornya, jumlah pekerja yang sedikitlah yang membuat harga makanan di tempat tersebut semiring mejanya. Jargonnya, semua boleh jadi pelanggan agar bisnis tetap aman.

Kecuali orang-orang yang ingin menapaki kembali masa indah bersekolah, hampir tidak bisa ditemukan anggota mayoritas angkatan kerja yang seumur dengan Annie dan Wanda. Itu karena tempat ini sangat tidak rapi dan ada lebih banyak tempat mengobrol lain yang lebih nyaman dengan harga yang sepadan. Tapi yang namanya kandang babi memang akan selalu menjadi kandang babi seberapa rapinya tempat ini, sehingga tidak ada yang berniat mengubah Piglets and Toothpicks menjadi Butterflies and Fine Chinas.

Kembali ke perempuan patah hati dan temannya.

“Sumpah, kok engga pernah cerita sih, kalo kelakuan Jojo kaya gitu?”

“Ya, mau gimana, ya, Nda, Jojo tuh wujud karakter protagonis sinetron! Baik, ganteng, perhatian, lucu, kalo ngomong adem, modis, tau tempatlah, kalo berpakaian, ya, engga bakal ada yang percaya, kali, kalo dia ternyata ada apa-apa di belakang pacarnya.” Annie menghela napas panjang seakan baru saja menyarikan seluruh rangkaian Harry Potter dalam lima menit.

Annie menatap jalan di depannya. Ia tidak sadar kalau langit biru yang ia tinggalkan tadi kini sudah berubah merah. Sepeda yang diparkir di depan trotoar memantulkan wajah lalu lalang mobil di jalan raya. Kendaraan penguasa jalan itu masih jauh dari kemampuan finansialnya saat ini.

“Tapi yang aku engga bisa nyangka, ya, Nda,” Annie menggumam sambil menatap jalan yang semakin padat, “hidup dia, tuh, ternyata selama ini aku yang nanggung, tau, gak.”

Alis Wanda terangkat heran. “Maksudnya?”

“Jojo. Dia kan, pinter banget, ya, milih baju buat acara gitu. Itu pake duit aku, Nda.”

“Eh, masa?”

Annie memutar matanya. Kembali, ponsel rongsoknya bergerilnya mengarungi ribuan foto di galeri. “Nih, topi yang tadi. Aku tau kalo itu custom soalnya receipt-nya masuk ke rekening aku. Yang ini juga, ini, ini, ini, ini juga.”

Annie menunjukkan beberapa foto celana, sepatu, dan kemeja dan berapa uang yang ia keluarkan untuk itu. Wanda sibuk terbelalak dan menggeleng mendengar harga barang-barang tersebut. Sesekali ia melihat raut Annie yang tenang, bertolak belakang dengan angka-angka fantastis yang ia sebutkan. Kawannya yang ingat kapan giliran traktir dan tidak ada niat untuk mengganti segera ponsel rusak akut itu bisa-bisanya merogoh dalam-dalam dompetnya hingga kering demi seorang lelaki.

“Ya, dulu aku justified myself dengan ngomong kalo aku yang seneng misal dia keliatan ganteng pas lagi networking week bareng kantornya, atau apalah gitu. Tapi aku yang di masa depan rasanya pengen dorong itu kepala ke dinding, woy, biar sadar.” Annie terkekeh sambil menggaruk kepalanya.

“Tapi coba deh, Nda, liat,” Annie membuka akun Instagramnya, “emang cocok banget kan, young and riches.

Nampak Lani, Jojo, dan dua piring stik di dalam layar enam inci itu. Di atas kepala mereka beberapa chandelier yang menggantung dan memendarkan cahaya kuning di atas rambut halus Lani. Jojo dan senyum malaikatnya memperoleh beberapa ratus tanda hati dan komentar.

“Kalo masih sama aku, kita ya, bakal pernah makan di situ, sih,” Annie menatap postingan tersebut iba. “Tapi sarapan sama makan malem sampe gajian lagi, ya, Promag doang, dah,” Annie terkikik, entah menertawakan dirinya atau rupa-rupa di balik layar itu.

Annie menatap dirinya sendiri. Kaus partai, korsa kampus yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun lamanya, sepatu, dan tas kecil dari gaji pertamanya. Ia tersenyum melihat barang yang memang hasil jerih payahnya. Sepertinya ia sedang diselamatkan takdir dari pinjaman online ilegal yang bisa jadi menunggunya di masa depan demi menyenangkan mantannya.

“Yah, jadi engga enak, deh, ditraktir abis diporotin lama gitu, An. Aku yang bayarin, deh,” Wanda hendak beranjak dari kursinya sambil memegang dompet, namun segara ditahan oleh Annie.

“Eh, jangan Nda, soalnya jajan depan aku maunya ke resto yang di foto ini.”

Sampah masyarakat, batin Wanda.

Leave a comment